Senin, 25 Juni 2012

Me And Eci


Eh tau ga si, dulu ya waktu aku SMA kelas 1 mungkin ya pokoknya dulu, suaminya kakak ku yang ke dua, yang dulu masi jadi calon, pernah berkunjung ke rumah ku. Waktu duduk di ruang tamu, dia tu selalu ngintipin jendela di sebelah utara rumah q. Dia nengok in rumah kosong yang udah dari tahun 1995 ga di huni. Dan tentu saja rumah itu kosong hampir rubuh dan banyak sarang laba laba. Pokoknya kalo malem . . . . . pokoknya kayak rumah kosong yang udah dari tahun 1995 ga di huni. Dan tentu saja rumah itu kosong hampir rubuh dan banyak sarang laba laba. *absurd ga si

Di antara rumah ku, yang lebih tinggi ondasinya 1 meter an lebih dari rumah itu, ada jalan kecil ke kebun yang rimbun dan banyak bambunya. Dulu waktu aku SD masi banyak anak SMK yang lewat gang itu buat jalan pintas ke sekolah, namun sejak kematian anak dari pemilik rumah itu, gang kecil itu di tutup. Jadi rumah itu benar benar ga di sentuh sejak ummm lupa. Pokoknya debunya sampe bisa buat istana pasir.
Nah di bagian tembok yang menghadap rumah q, di belakang rumah tua itu, sebuah pintu masuk dari gang kecil ke rumah itu, dan ada dua jendela kamar. Jendela kamar yang bersebelahan dengan pintu itu sejajar ama jendela kamarku. So aku pasti bisa lihat pintu itu dan jendela itu kan.
Kamar yang memiliki jendela itu adalah kamar dari teman kecilku, yang seusia denganku, dia meninggal waktu aku kelas tiga SD. Karena . .  aku sendiri kurang tau karena walaupun dia sahabat deketku waktu itu, namun dia sudah lama di rawat di rumah sakit dan sakitnya ga di ketahui apa. Yang terungkap kalo itu adalah kanker otak.
Gadis kecil itu bernama jessie, aku selalu menyebutnya eci. Gadis kecil itu berparas cantik. Keturunan cina. Terdapat lesung pipit di kedua pipinya. Berambut hitam, lebat, panjang dan bergelombang dan berponi. Matanya besar dan bercahaya
Pada awal kenaikan kelas tiga kala itu. Tiba tiba Eci sakit, aku mengira dia terkena typus seperti biasa. Memang dia selalu terkena typus jadi yah sudah biasanya seperti itu. Namun keanehan terjadi, waktu aku menjenguknya, dia harus rawat inap di RS di surabaya. Padahal biasanya tak usah sampe rawat inap.
Keanehan terus terjadi, biasanya satu bulan dia pasti sudah kembali di kelas, namun ini mencapai dua bulan. Aku sangat kehilangan temanku itu.
Beberapa waktu kemudian, dia dinyatakan dapat bersekolah kembali. Dia yang sudah mulai ceria kemudian memberiku kejutan dengan membeli rumah di sebelah rumahku. Aku yang teringat janji kami, kami akan mempunyai rumah bersebelahan, sampai nanti sudah menikah dan punya anak, kami akan saling bertetangga.
Aku pun dengan riang pergi ke sebelah rumah ku. Dan membantunya membereskan kamarnya yang tentu saja di seberang kamarku. Kami pun menyusun berbagai rencana untuk saling bercakap cakap di malam hari dari kamar masing masing hanya dengan berjengkrama di jendela.
Setelah pengerjaan kamanya beres, aku di terpa kabar tidak menyenangkan lagi, Eci di larikan ke rumah sakit setelah tiba tiba wajahnya pucat dan tak sadarkan diri Dia pun koma selama beberapa bulan. Aku kembali merindukan sosoknya yang selalu menemaniku.
Akhirnya ramadhan pun hampir tiba, aku mendengar kabar bahwa Eci sudah di pulangkan. Aku turut senang akhirnya dia dapat kembali denganku bermain bersama. Namun dia tak kunjung kembali ke bangku sekolah. Dari apa yang aku dengar, dia mengalami amnesia akibat obat obatan yang di berikan dokter untuk menyambung hidupnya.
Ayah, ibu, kakek, nenek, semua orang yang ada di dekatnya, tidak dia kenali. Bahkan jika ada orang yang berusaha mendekatinya, dia tidak segan untuk mencakar, dan menggigit orang itu.  Dokter Eci waktu itu mengatakan bahwa pihaknya angkat tangan dengan penyakit Eci. Mereka masih mencari jalan agar Eci bisa kembali sehat.
Mama dan papanya tentu terpukul. Mereka ber dua yang notabene adalah orang tua kandung pun tidak di kenali. Sampai orang tua Eci harus mencarikan orang tua baru demi kenyamanan buah hatinya itu.
Namun tetap saja semua orang di tolak oleh Eci, bahkan sampai ada korban, telinga seseorang di gigit leh Eci sampai berdarah. Aku pun turut sedih mendengar kabar itu. Namun, lambat laun Eci sedikit tenang, dia mau di gendong oleh mamanya, walau itu pun adalah kejadian yang sangat jarang.
Ramadhan kala itu, aku hendak tarawih dengan kakaku. Namun, kakak mengajak ku untuk datang lebih awal ke surau. Ternyata aku di ajak oleh kakak untuk menjenguk Eci. Aku takut dengannya. Dengan semua kabar yang datang darinya.
Aku melihatnya di gendong mamanya. Dengan tangan terikat, dan rambut yang awut awutan. Ternyata tangannya yang terikat adalah untuk menjaga dirinya sendiri dari cakaran tangannya. Astaga dia pun melukai dirinya sendiri. Memang terlihat beberapa goresan di tubuhnya.
Saat aku mencoba memanggil dia, dia menoleh padaku. Dia tercenung melihatku. Dan. . . dia memanggil namaku “Denna”.
Semua orang kala itu kaget dan terhenyak. Tentu saja, karena dia tidak mengenal siapapun apalagi mamanya, namun dia masi ingat denganku. Dia pun berusaha turun dari gendongan mamanya. Dia berusaha melepaskan ikatan yang ada di tangannya. Dia berusaha meraihku.
Orang orang di sekitar situ tentu saja khawatir, jangan jangan aku akan di gigit atau di cakar, semua sudah waspada. Namun yang terjadi berikutnya membuat mama Eci menangis. Eci memelukku dan mengatakan sesuatu yangtidak akan aku lupakan. “Denna, aku kangen ama kamu”.
Dan adegan aku dan dia bermain seperti biasanya berjalan. Hal itu sampai larut malam. Ibu ku memperbolehkan aku menginap di rumah dia. Eci memelukku dan menyelimuti ku dengan selimut kesayangannya. Kami tidur bersama kala itu.
Keesokannya aku pulang. Namun, sianknya aku kaget. Aku yang beraksud akan bermain kembali dengan Eci tidak mendapati dia di rumahnya. Dia di larkan lagi ke rumah sakit. Dia pingsan. Astaga
Itu adalah kenangan terakhir ku dengan dia. Krena tak lama kemudian aku mendengar kabar bahwa Eci meninggal dunia saat akan di operasi. Aku syok dan menangis. Aku sampai tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Dan aku terserang sakit akibat syok itu.
Kembali ke rumah tua itu. Kala itu suami kakakku, yang masi menjadi calon kala itu, berkata, di depan pintu itu ada seorang gadis kecil usia SD berambut panjang berombak duduk memandang kamarku dan dari gerak bibirnya anak kecil itu berucap “den main yuk”. Anak itu terlihat sangat berharap aku mau bermain dengan dia. Dia selalu duduk disitu dan memandang jendela kamarku.
Dari uraian suami kakakku, berarti ada seseorang anak kecil yang memang ingin berada di dekatku. Kemudian di tambah pula dengan ke saksian temanku yang juga bisa melihat sesuatu itu. Dia bilang kalau ada anak kecil yang ingin mengikutiku kemanapun. Anak kecil itu bahkan akan selalu hmmm istilahnya menyeleksi teman yang akan berteman denganku.
Waduh.
Ini nih, barusan aku cerita ama temenku yang rada errrr itu. Eh belom belom dia udah bilang aku ga mau deket ama kamuuuu. Bagh. Sadis nih anak. Ga bantu malah menjerumuskan aku. zzzzzzz.
Ya dari kesimpulanku si, kalo memang benar adanya anak itu. Mungkin dia yang membuat auraku, eilah aura, terlihat seperti anak kecil yang  . . . . gitulah. Ga tega ama diri sendiri. Ada sih beberapa cerita aku ga jadi kecelakaan gara gara kayaknya ada orang yang nepuk pundak, sampe narik aku supaya ga keserempet.
Ya siapa yang tau akan semua itu. Toh Tuhan menciptakan makhluk yang kasat mata pula. Soal bener ganya anak kecil itu aku berlindung aja ama Tuhan.
Yang aku yakin sih. Eci pasti sudah ada di sana ama Tuhan. Miss you Eci. Aku ga pinter buat ngarang kata bagus. Intinya, aku akan selalu mengenangmu. Kamu ada di sini. Di hatiku dengan semua kenangan kita.

NB : mama Eci gak mau ngelepas rumah itu, dan membiarkan rumah itu tetap seperti saat aku dan Eci membantu merapikan rumah itu. Walau ada orang yang mau membeli rumah itu dua kali lipat dari harga normal. Mamanya tidak menjual rumah itu.

0 komentar:

Posting Komentar