Senin, 27 Januari 2014

Harapan tiada akhir



Lorong gedung kampus itu tidak seperti biasa. Ramai dipadati banyak wajah wajah dengan ekspresi yang berbeda. Ada sebagian dari mereka mengumpul menjadi sebuah kelompok. Ada sebagian yang berdiri dengan pandangan kosong. Ada juga yang baru datang dan celingak celinguk seperti anak ayam kehilangan makanannya.
Di lorong padat, yang usia lorong itu mungkin lebih tua dari wajah wajah yang meramaikannya, hanya ada satu kesamaan. Pikiran dari orang yang memenuhinya. Bagaimana kuliah ini berjalan.
Ada pada saatnya, lorong itu tiba” kemudian menjadi sepi. Hening. Tidak ada lagi wajah wajah wajah cemas. Wajah wajah itu berubah menjadi wajah kecewa yang teramat sangat. Ya kebijakan matakuliah hari itu membuat semua wajah berubah. Lorong itu mencetak sejarah baru.
“ah mau ama siapa aja ga masalah, bisa pasti bisa” sahut gadis bersepatu boots abu abu itu.
“ya kan itu kamu lah si, kalo anak lain kan belom tentu”, sahut yang lain.
“dasar adek-adek”. Timpal yang lain


Seorang mahasiswi dengan sepatu boots abu abu kesayangannya terdiam seketika ketika mendengar kata “dasar adek-adek”. Raut muka sesaat namun mengena. Dia kaget dengan omongan rekannya yang jelas jelas lebih muda dari dia.
Jauh di dalam lubuk hatinya dia memberontak. Bagaimana bisa dia yang lebih tua dari anak itu di bilang adek adek. Namun wajahnya berubah seketika. Di ubahlah seperti ekspresi pada  umumnya.
“ah kan emang gitu. Harapan itu pasti ada kok. Bisa kita pasti bisa” sahut gadis itu.
“itu merupakan harapan yang tiada habis atau Cuma mimpi tak berujung?” sahut yang lain.
Si gadis hanya menunduk dan memandang sepatunya. Seolah meminta jawaban kepada sang sepatu. Sedetik kemudian dia mengangkat kepalanya dan berujar “itu bukan harapan atau mimpi. Itu jalan!”

Banyak dari orang saat mendengar kata-kata dari gadis bersepatu boots (walaupun baru kali itu bertemu dan mendengarnya) pasti bilang kalau dia seperti anak-anak. Hanya karena sebuah ujaran “bisa pasti bisa” cap anak anak itu langsung melekat padanya.
Entah memang gadis itu yang tidak mengerti kerasnya hidup sehingga dia dengan gampang berujar demikian. Sehingga dia tidak menyadari bahwa ada bahaya dan resiko gagal. Dia seakan dengan crayonnya menggambar semua dengan warna indah tanpa sadar bahwa kertasnya akan habis.

Atau memang dia sadar dan khawatir namun semua itu tersembunyi?

0 komentar:

Posting Komentar