Lorong
gedung kampus itu tidak seperti biasa. Ramai dipadati banyak wajah wajah dengan
ekspresi yang berbeda. Ada sebagian dari mereka mengumpul menjadi sebuah
kelompok. Ada sebagian yang berdiri dengan pandangan kosong. Ada juga yang baru
datang dan celingak celinguk seperti anak ayam kehilangan makanannya.
Di
lorong padat, yang usia lorong itu mungkin lebih tua dari wajah wajah yang
meramaikannya, hanya ada satu kesamaan. Pikiran dari orang yang memenuhinya. Bagaimana
kuliah ini berjalan.
Ada
pada saatnya, lorong itu tiba” kemudian menjadi sepi. Hening. Tidak ada lagi
wajah wajah wajah cemas. Wajah wajah itu berubah menjadi wajah kecewa yang
teramat sangat. Ya kebijakan matakuliah hari itu membuat semua wajah berubah. Lorong
itu mencetak sejarah baru.
“ah
mau ama siapa aja ga masalah, bisa pasti bisa” sahut gadis bersepatu boots abu
abu itu.
“ya
kan itu kamu lah si, kalo anak lain kan belom tentu”, sahut yang lain.
“dasar
adek-adek”. Timpal yang lain
Seorang
mahasiswi dengan sepatu boots abu abu kesayangannya terdiam seketika ketika
mendengar kata “dasar adek-adek”. Raut muka sesaat namun mengena. Dia kaget
dengan omongan rekannya yang jelas jelas lebih muda dari dia.
Jauh
di dalam lubuk hatinya dia memberontak. Bagaimana bisa dia yang lebih tua dari
anak itu di bilang adek adek. Namun wajahnya berubah seketika. Di ubahlah
seperti ekspresi pada umumnya.
“ah
kan emang gitu. Harapan itu pasti ada kok. Bisa kita pasti bisa” sahut gadis
itu.
“itu
merupakan harapan yang tiada habis atau Cuma mimpi tak berujung?” sahut yang
lain.
Si
gadis hanya menunduk dan memandang sepatunya. Seolah meminta jawaban kepada
sang sepatu. Sedetik kemudian dia mengangkat kepalanya dan berujar “itu bukan
harapan atau mimpi. Itu jalan!”
Banyak
dari orang saat mendengar kata-kata dari gadis bersepatu boots (walaupun baru
kali itu bertemu dan mendengarnya) pasti bilang kalau dia seperti anak-anak. Hanya
karena sebuah ujaran “bisa pasti bisa” cap anak anak itu langsung melekat
padanya.
Entah
memang gadis itu yang tidak mengerti kerasnya hidup sehingga dia dengan gampang
berujar demikian. Sehingga dia tidak menyadari bahwa ada bahaya dan resiko
gagal. Dia seakan dengan crayonnya menggambar semua dengan warna indah tanpa
sadar bahwa kertasnya akan habis.
Atau
memang dia sadar dan khawatir namun semua itu tersembunyi?
0 komentar:
Posting Komentar